Jumat, 25 Mei 2012

AKREDITASI SYNDROM

Mungkin saya adalah salah seorang yang terkena penyakit ini, sebagai seorang dosen yang selayaknya menyiapkan bahan ajar sebelum memasuki kelas memang sudah kewajiban. Namun tidak semua dosen berpikir sama dengan saya. Kadang ada yang mengajar kemudian lupa memberikan silabus kepada mahasiswa atau memberikan silabus hanya kepada mahasiswa tetapi tidak kepada Kaprodi. Alhasil data yang dikumpulkan oleh Kaprodi menjadi berkurang bahkan tidak ada sama sekali.

Itu baru masalah silabus, belum SAP, kontrak kuliah, kisi soal ujian dan soal ujian UTS/UAS. Semua selayaknya harus komplit di awal semester. Belum lagi jika kita berbicara masalah data dosen, CV, ijazah, foto dan data lainnya. Hal ini merupakan persyaratan mutlak yang harus ada dalam sebuah institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Bagaimana kita bisa menyerahkan anak kita kuliah di sebuah perguruan tinggi jika kita tidak tau latar belakang pendidikan dosen yang mengajar. Nah inilah yang ditekankan Muhammadiyah bahwa dosen diharapkan mampu meningkatkan kualitas diri sehingga data-datanya dapat tersimpan dan terpublis dapat dikumpulkan dengan baik.

Persoalan  sarana prasarana penunjang kampus juga disoroti tatkala tiba masanya proses akreditasi prodi. Apa yang harus dilakukan Kaprodi agar semua aspek termasuk sarana dan prasarana dapat dinilai oleh Dikti sebagai sesuatu yang layak untuk diberikan nilai? Tentu semua aspek yang ada dalam sebuah proses pembelajaran di perguruan tinggi harus mencukupi kata "layak".

Coba anda bayangkan jika semua aspek itu disusun dalam jangka waktu satu atau dua bulan saja, tentu menjadi persoalan pelik, menyita pikiran dan tenaga untuk melengkapinya satu persatu. Teman-teman saya di Semarang, Riau dan Medan mengalami kesulitan melengkapi persyaratan yang diajukan Dikti. Semua harus dilengkapi secepatnya bukan sejak awal berdiri prodi. Persoalan kemudian muncul bahwa prodi PAUD merupakan keahlian ilmu yang tergolong muda di Indonesia. Jadi ketentuan dan kebijakan tentang penyelenggaraan PAUD belum semua pihak memahaminya.

Terkait sosialisasi kebijakan tersebut, saya berpikir seharusnya data diupdate setiap semester baik menyangkut proses pembelajaran, data dosen, data prasarana penunjang dan pendanaan. Semua ditinjau secara berkala dan konsisten agar tidak ada data yang kuno, ketinggalan jaman. Bila semua sudah diupdate maka akan memudahkan jika datangnya masa akreditasi, Kaprodi hanya tinggal duduk manis di depan meja podium mempresentasikan prodinya di hadapan tim penilai Dikti.

Siapa orang yang turut memberikan kontribusi di balik paparan Kaprodi? Jelas tim yang tergabung bersama Dekan, Wadek dan sekretaris prodi (Sekprodi PAUD). Tak jarang rekan dari prodi lain juga dilibatkan agar proses berjalan lancar. Sekprodi PAUD  menjadi barometer tersimpannya data yang sudah diketik dan disave dalam komputernya. Barometer ini yang memungkinkan Sekprodi bisa terkena penyakit akreditasi syndrom karena beban kerja yang melebihi dari jam biasanya.

Apapun kondisinya, Sekprodi harus pintar menyiasati situasi misalnya mengajak rekan bekerjasama menyelesaikan tugas, melihat peluang yang bisa diandalkan, menyicil pekerjaan sedini mungkin, tidak menunda-nunda pekerjaan, mengurangi ngobrol atau bicara yang tidak ada kaitannya dengan akademisi dan menjalin komunikasi yang baik antara petugas seperti petugas fotocopy, office boy dan satpam. Jika butuh bantuan, Sekprodi cukup meminta tolong agar pekerjaannya dapat terbantu.

Pada akhirnya saya berpesan untuk bisa melibatkan seluruh elemen kampus. Tanpa memandang status karena kita saling membutuhkan, pejabat dan bawahan sama-sama merakyat agar semua pekerjaan kita dapat selesai sesuai dateline.

Pada akhir tulisan ini, saya mengucapkan selamat kepada anda yang sedang bersibuk ria dengan akreditasi, semoga kita tidak terkena akreditasi syndrom. Amin

Widia Winata, M. Pd (Sekretaris Program Studi PAUD FIP UMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar