Sabtu, 10 Maret 2012

TERTIUS MAHASISWA TERGANTENG DI PAUD

PAUD merupakan disiplin ilmu yang masih sangat muda. Di Indonesia hanya beberapa universitas saja yang menawarkan Program Studi (Prodi) ini di fakultas, di antaranya Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Berdasarkan pengalaman saya selama mengajar di Prodi PAUD, baru kali ini ada mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki. Bukan berarti saya senang karena "eh ada cowo di kelas ini" tetapi lebih pada esensi sosialisasi PAUD di masyarakat kita.
PAUD didominasi oleh perempuan, baik dalam tenaga kerja di Taman Kanak-Kanak (TK), Posyandu, Play Group, PAUD atau Tempat Penitipan Anak (TPA) bahkan kalangan mahasiswa Pasca Prodi PAUDpun mayoritas perempuan. Saya melihat bahwa kecenderungan masyarakat kita masih menganggap bahwa tugas mendidik dan mengasuh anak adalah dominasi perempuan. Mulai dari proses kehamilan, kelahiran sampai mengasuh hingga anak tumbuh besar. Padahal konsepsi PAUD bukanlah demikian. PAUD adalah milik semua kalangan, laki-laki maupun perempuan. Terlepas dari peran mereka berbeda namun keberadaan laki-laki sangat penting. Figur kebapakan yang ada dalam diri laki-laki selayaknya menjadi bahan transfer kepribadian anak di kemudian hari. Dengan proses itu laki-laki harus turut serta dalam pembinaan PAUD di rumah tangga, sekolah bahkan di masyarakat umumnya.
Langkah yang ditempuh kaum laki-laki ini bisa dimulai dari kegiatan di rumah tangga seperti mendampingi istri menghadapi proses kehamilan, persalinan dan pengasuhan. Bukan saja hadir di saat-saat penting itu tetapi lebih pada hakikatnya bahwa perempuan butuh kasih sayang dan belaian dari pasangannya. Saat janin sudah bisa bergerak, bapak harus respek dengan kebutuhan janin, membelai saat berangkat kerja atau menenangkan istri jika terjadi sesak nafas. Seringkali tendangan si janin membuat ibu hamil kesulitan bernafas.
Laki-laki juga bisa mendampingi proses kelahiran. Menurut pengalaman saya, ini berdampak positif bagi perasaan suami kepada istri karena menyaksikan langsung bagaimana proses kelahiran seorang anak berlangsung, antara hidup dan mati. Kelak jika terjadi perselisihan pendapat antara suami dan istri (bertengakar) biasanya kenangan melahirkan menjadi momentum perdamaian. Bayangkan jika proses antara hidup dan mati itu disaksikan tujuh kali karena anaknya berjumlah tujuh orang maka semakin seringlah seorang laki-laki istigfar dalam kehidupannya.
Laki-laki juga harus memerankan karakternya dengan baik di hadapan anak-anak. Meskipun anaknya perempuan bukan berarti hanya tugas ibu yang mendidik tetapi bapak juga sangat berperan penting. Banyak kejadian di masyarakat kita saat ini, perempuan sulit bahkan tidak mampu menolak permintaan laki-laki untuk mempengaruhinya. Kehamilan di luar nikah, pelecehan seksual dan tindak kriminal lainnya justru dipicu oleh sikap perempuan yang tidak memiliki ketegasan, kekuatan dan konsistensi dalam berperilaku.
Ketegasan, disiplin, kekuatan dan konsistensi ini mayoritas dimiliki oleh kaum laki-laki yang selayaknya ditransfer kepada anak-anak khususnya anak perempuan. Meskipun pada dasarnya proses pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan tetap sama hanya terdapat perbedaan peran yang memang secara kodrati sudah dutentukan Tuhan. Misalnya kondisi perempuan yang bisa hamil maka pendidikan yang diberikan harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisinya. Tentu akan berbeda dengan anak laki-laki.
Dengan paparan tersebut maka saya berharap makin banyak lagi mahasiswa-mahasiswa "ganteng" di kampus yang memilih Prodi PAUD sebagai pilihan keahliannya. Agar ke depan sosialisai PAUD makin berkembang.

1 komentar: